Senin, 17 Mei 2010

Senin, 03 Mei 2010

PEGADAIAN


I. PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam maupun pegadaian dan lainnya.

Didalam pasal 1131 KUHP Perdata menyatakan bahwa semua benda atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutang-hutangnya, maka dari sinilah kita tahu bahwa pegadaian itu juga sangat diperlukan untuk menunjang pembangunan ekonomi, untuk itu Pemakalah akan memaparkan lebih jauh tentang pegadaian dalam bagian pembahasan.

11. RUMUSAN MASALAH

a. Apa pengertian dari pegadaian?

b. Apa saja rukun dan syarat pegadaian syariah?

c. Bagaimana ketentuan dari gadai barang dan akat perjanjiannya?

d. Apa saja persamaan dan perbedaan pegadaiaan konvensional dengan pegadaiaan syariah?

e. Apa saja jenis barang yang digadaikan dan bagaimana mekanisme pegadaiaan syariah?

f. Apa saja kendala dan setrategi pengembangan pegadaian syariah?

g. Apa saja tujuan, manfaat dan hikmah dari gadai itu?

111. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pegadaian

Menurut kitab Undang-Undang hukum perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang ayng mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kemasyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam kitab UU Perdata Pasal 1150 diatas.

Gadai dalam fiqih disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut Syara’ artinya menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.

Pengertian rahn yang merupakan perjanjian utang piutang antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagaimana firman Allah dalam surat Al-muddatstsir ayat 38 mengatakan “Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”, dan Surat al-Baqoroh ayat 283 menyebutkan “Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang”.[1]

B. Rukun dan Syarat Gadai Syari’ah

Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaiaan harus memenuhi rukun gadai syari’ah berikut ini :

a. Yng menggadaikan (raahin)

b. Penerima gadai (murtahin)

c. Harta yang digadaikan (marhun)

d. Hutang (marhun bih)

e. Ijab qabul (shighat)

Adapun syarat-syarat pegadaian antara lain :

1) Rahin dan Murtahin

Pihak yang melakukan perjanjian Rahn harus berakal sehat dan mampu untuk melakukan transaksi pemilikan.

2) sighat (ijab qobul)

Sighat ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

3) Marhun bih (utang)

Menurut Ulama’ Hanafiah dan Syafi’iah syarat utang yang dapat dijadikan dasar gadai adalah :

a. Berupa utang tetap yang dapat dimanfa’atkan

b. Utang harus lazim pada waktu akad

c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin

4) Marhun (barang)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain :

a. dapat diserah terimakan

b. bermanfa’at

c. milik rahin

d. jelas

e. tidak bersatu dengan harta lain

f. dikuasai oleh rahin

g. harta yang tetap atau dapat dipindahkan.[2]

C. Ketentuan Gadai Barang dan Akat Perjanjiannya

Dalam menggadaikan barang dipergadaian syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Heri Sudarsono, 2004 :161) :

1. Barang yang tidak boleh dijual tidak boleh digadaikan.

2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan atau barang yang pinjam dan semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.

3. Gadai itu tidak sah apabila hutangnya belum pasti. Gadai yang utangnya sudah pasti hukumnya sah, walaupun hutangnya belum tetap, seperti utang penerima pesanan dalam akat salam terhadap pemesan. Gadai dengan utang ayng akan menjadi pasti juga sah, seperti harga barang yang masih dalam masa khiar.

4. Disyaratkan pula agar hutang piutang gadai itu diketahui oleh kedua pihak.

5. Menerima barang gadai oleh pegadaian adalah salah satu rukun akad gadai atas tetapnya gadaian. karena itu , gadai belum ditetapkan salam barang yang digadaikan itu belum diterima oleh pegadaian.

6. Seandainya ada orang yang menggadaikan barang namun barang tersebut belum diterima oleh pegadaian, maka orang tersebut boleh membatalkannya.sebab, gadaian yang belum diterima akan akad –nya masih boleh diubah oleh pihak nasabah sebagai masa khiar dalam

7. Jika barang gadaian tersebut sudah diterima oleh pegadaian, maka akad rahn (gadai) tersebut telah resmi dan tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.

8. Penarikan kembali (pembatalan) akad gadai itu ada kalanya dengan ucapan dan ada kalanya dengan tindakan. Jika pegadaian menggunakan barang gadaian itu dalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, maka batal-lah akad gadai itu.

9. Jika akhir masa sewanya belum tiba waktu membayar utangnya tidak termasuk pembatalan.

10. Jika masa membayar utang pada gadai lebih awal dari pada masa sewa (masa sewanya lebih lama daripada masa gadai) maka tidaklah termasuk pembatalan gadai, dan memperbolehkan penjualan barang yang digadaikan hal ini termasuk kaul yang benar.

11. Barang gadaian adalah amanat ditangan penerima gadai, karena ia telah menerima barang itu dengan ijin nasabah. Maka status amanat barang gadai, seperti amanat berupa barang yang disewakan. Jdi, pegadaian tidak wajib menanggung kerusakan barang gadai, kecuali disengaja atau lengah, tak ubahnya denagan amanat-amanat lain.

12. Jika barang gadaian tersebut musnah tanpa ada kesengajaan dari pihak pegadaian, pegadaian tidak wajib menanggung barang tersebut dari jumlah pinjaman yang telah diterima oleh penggadai tidak boleh dipotong atau dibebaskan.

13. Seandainya pegadaian mengaku bahwa barang gadaian tersebut musnah, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dengan disertai sumpah, sebab pegadaian tidak menjelaskan sebab-sebab musnahnya barang tersebut, atau ijaroh menyebutkan tapi tidak jelas.

14. Seandaianya pegadaian mengaku telah mengembalikan barang gadaian, pengakuan tidak dapat diterima kecuali dengan disertai bukti.

15. Jika pegadaian itu lengah atau merusak barang gadaian larena sengaja memanfaatkan barang yang dilarang untuk dioergunakan, maka pegadaian harus menggantinya.

Adapun mengenai akat perjanjian gadai, Ulama Syafi’iah berpendapat bahwa perjanjian gadai bisa sah bila memenuhi tiga syarat :

a) Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan

b) Penetapan kepemilikan penggadaian ats barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.

c) Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai

Berdasarkan tiga syarat diatas, maka dapat diambil alternative dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akat perjanjian diantaranya :

1) Akad Al-Qordul hasan

Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif.

2) Akad al-Mudhorobah

Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja)

3) Akad Bai’ al-Muqayyadah

Akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang.[3]

D. Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah dan Konvensional

a. Persamaan Gadai Syariah dan Konvensional

Adapun persamaan gadai syariah dan konvensional meliputi :

(1) Hak gadai atas pinjaman uang

(2) Adanya agunan sebagai jaminan utang

(3) Tidak boleh mengambil manfa’at barang yang digadaikan

(4) Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai

(5) Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.

b. Perbedaan Gadai Syariah dan Konvensional

Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

(1) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal

(2) Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada serluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak

(3) Dalam rahn tidak ada istilah bunga

(4) Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.[4]

E. Jenis Barang yang digadaikan dan Mekanismenya

a. Jenis Barang yang digadaikan

Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut ditangan nasabah bukan karena hasil praktek riba dan lainnya. Barang-barang-barang tersebut diantaranya :

1.Barang perhiasan (yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina dan sebagainya)

2. Barang rumah tangga

3. Barang elektronik

4. Kendaraan

Barang-barang lain yang dianggap bernilai

Adapun jenis barang yang tidak dapat digadaikan antara lain:

1. Barang-barang yang berukuran besar misalnya pesawat terbang, kereta api, satelit dan lain sebagainya.

2. Barang-barang yang berbahaya, seperti bahan peledak, senjata api dan lain sebagainya.

3. Barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya dan pemeliharaannya, seperti tanaman, hewan dan lain sebagainya.

4. Barang-barang yang cepat rusak, susut dan busuk.[5]

b. Mekanisme Pegadaian Syariah

Adapun mekanisme pegadaian syariah adalah sebagai berikut (makalah oleh Lukman nasution dan yoga veratama) :

1) Nasabah menjamin barang kepeda pegadaian syariah untuk mendapat pembiayaan dan kemudian pegadaian syariah menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam melaksanakan pembiayaan

2) Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akat gadai

3) Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan barang, biaya pemeliharaan, penjagaan dan biaya penaksiran yang dibayar pada awal teransaksi oleh nasabah

4) Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.

F. Kendala dan Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah

a. Kendala Pengembangan Pegadaian Syariah

Adapun kendala-kendala yang dihadapi pegadaian syariah adalah:

1. Pegadaian syariah relative baru sebagai suatu system keuangan

2. Masyarakat kurang familier dengan produk rohn di lembaga keuangan syariah

3. Kebijakan pemerintah tentang gadai syariah belum akomodatif terhadap keberadaan pegadaian syariah

4. Pegadaian kurang begitu popular

b. Setrategi Pengembangan Pegadaian Syariah

Adapun strategi pengembangan pegadaian syariah antara lain :

1. Banyak mensosialisasikan kepada masyarakat

2. Pemerintah perlu mengakomodir keberadaan-keberadaan pegadaian syariah dengan membuat peraturan pemerintah / UU pegadaian syariah.[6]

G. Tujuan, Manfa’at dan Hikmah Pegadaian Syariah

a. Tujuan Pegadaian Syariah

Sebagai lembaga keuangan non bank milik pemerintah yang berhak memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai yang bertujuan agar masyarakat tidak dirugikan oleh lembaga keuangan non formal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dan mendesak dari masyarakat, maka pada dasarnya lembaga pegadaian tersebut mempunyai fungsi yaitu:

1. Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan mudah.

2. Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan pegadaian maupun masyarakat.

3.Mengelola keuangan, perlengkapan, kepagawaian, pendidikan dan pelatihan.

4. Mengelola organisasi, dan tata kerja dan tata laksana pegadaian.

5. Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian.[7]

b. Manfa’at dan Hikmah Pegadaian Syariah

Adapun manfa’at dan hikmah pegadaian syariah antara lain :

1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.

2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karma ada suatu asset atau barang ( marhun).[8]

IV. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa gadai adalah penahanan dari suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.

Adapun rukun gadai meliputi ; shighot, aqid, adanya barang yang digadaikan, utang. Sedangkan syarat gadai adalah ; bahwa aqid itu harus berakal dan mampu melakukan transaksi kepemilikan, utang harus merupakan hak yang wajib diberikan / diserahkan kepada pemiliknya, marhun yakni barang ini harus mempunyai nilai dan bisa dimanfaatkan secara syariah.

Sedangkan jenis barang yang dapat digadaikan meliputi: barang perhiasan, barang rumah tangga, barang elektronik, kendaraan, dan barang-barang lain yang dianggap bernilai. Sedangkan barang yang tidak dapat digadaikan meliputi : barang-barang ayng berukuran besar, barang-barang yang berbahaya, barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya, serta barang yang cepat busuk, kusut, dan kotor.

Tujuan dari pegadaian sendiri adalah sebagai lembaga keuangan non bank milik pemerintah yang berhak memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai yang bertujuan agar masyarakat tidak dirugiakan oleh lembaga keuangan non formal yang cenderung memanfa’atkan kebutuhan dan mendesak dari masyarakat.

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar bahwa tentunya masih banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun penjelasan. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik dari pembaca untuk kesempurnaan makalah yang akan datang, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

REFERENSI

Ø Sudarsono Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta 2003

Ø Anshori Ghofur, Gadai Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2006

Ø Supriyadi Ahmad, S.Ag, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negri, Kudus 2008

Ø Dr. H. Moh Rifa’I, Konsep Perbankkan Syariah, Wicaksana, semarang 2002

Ø Htt/ Makalah Pegadaian Syariah-blogspart.com

Ø Thomas-andrian @ walla.com, Pegadaian Syariah



[1] Sudarsono Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,Fakultas ekonomi UII, Yogyakarta 2003 hal 156-157

[2] Abdul Ghofur Ansori,Gadai Syariah di Indonesia,Gajah Mada Universiti Press Yogyakarta 2005, hal 92

[3] Supriyadi Ahmad, Bankdan Lembaga Keuangan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negri, Kudus 2008 hal 205-209

[4] Sudarso Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta 2003 hal 167

[5] Ibid hal 172

[6] Thomas-andrian @ walla.com, Pegadaian syariah

7 Htt/Makalah Pegadaian Syariah-blogsport.com

[8] H. Moh Rifa’I, Konsep Perbankkan Syariah, wicaksana, semarang 2002

cinta ku tak kan pernah pupus ,